Video game adalah sebuah industri, bukannya organisasi kemanusiaan yang memang diciptakan untuk menghadirkan sedikit kebahagiaan bagi mereka yang menikmatinya. Sebagai sebuah bisnis, penjualan super masif dan keuntungan tentu saja menjadi target utama yang ingin dicapai oleh setiap publisher dan developer, tidak hanya untuk memastikan diri mereka tetap eksis, tetapi juga memastikan roda perekenomian ini berputar dengan konsisten. Hal yang serupa juga diterapkan oleh para produsen konsol yang akan terus memutar otak untuk memastikan hal ini terjadi. Namun masalahnya, solusi yang ditawarkan justru seringkali berakhir dengan sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan gamer, bahkan melahirkan antipati tersendiri.
Aneh memang, namun inilah fakta yang terjadi di lapangan. Berbagai strategi dan kebijakan yang diambil oleh para produsen, developer, dan publisher justru sering berakhir pada hal-hal yang bertolak belakang dengan esensi dari gaming itu sendiri – kesenangan. Syarat untuk menikmati game kian kompleks dan beragam, bahkan terkadang diambil tanpa mempertimbangkan kondisi gamer secara umum. Dengan dalih untuk menghadirkan pengalaman gaming yang lebih maksimal, quest untuk mencari keuntungan sebesar mungkin ini pun menjadi pertempuran ideologis bagi gamer. Mempertahankan hak, sekaligus di sisi lain, mengembalikan gaming pada akar yang kian dilupakan.
Dari semua kebijakan yang pernah dan tengah diterapkan oleh industri game, kebijakan apa saja yang paling dibenci oleh para gamer?
10. “We have no comment..”
Bermain layaknya seorang agen rahasia yang tengah mengemban tugas negara, industri game memang terkenal sebagai industri dengan begitu banyak informasi yang terselubung. Terlepas dari ketertarikan dan berbagai rumor yang menyebar kuat di dunia maya dan penuh kesimpangsiuran, hampir sebagian pelaku industri game lebih memilih untuk tidak meninggalkan komentar apapun. Walaupun menjadi hak mereka untuk tidak membongkar kejutan yang tengah dipersiapkan, namun tingkah laku seperti ini justru kian mengobarkan beragam rumor yang memantul bagaikan bola liar. Parahnya lagi? Bersama dengan tumbuhnya rumor, tumbuh pula ekspektasi gamer seiring dengan informasi miring yang beredar. Ketika informasi resmi dirilis dan tidak memenuhi harapan gamer, kekecewaan menjadi hal yang tidak bisa lagi dihindari.
9. Anti Game Bekas
Harga game yang kian membumbung tinggi memang kian mencekik hasrat gamer untuk memainkan game-game incaran mereka di hari pertama rilis, belum lagi mereka yang memang mengoleksi franchise game tertentu. Pilihan terbaik selain menunggu rilis versi “GOTY” atau diskon besar-besaran, tentu saja dengan mencari game-game bekas yang bertebaran di pasaran, membeli atau sekedar menyewa hingga batas waktu tertentu. Sayangnya, masalah klasik seperti ini tampaknya tidak menjadi perhatian bagi para publisher dan developer. Sistem yang didengungkan Microsoft lewat Xbox One, dimana game hanya dapat dijual satu kali ke pihak lain menjadi malapetaka bagi gamer yang memang mengandalkan game-game bekas untuk “menyambung hasrat”.
8. Franchise Milking
Lebih banyak seri yang lahir, bahkan melenceng dari akar yang telah membesarkan namanya, beberapa publisher game saat ini memang tidak lagi segan untuk memeras franchise-franchise andalannya hingga kering kerontang. Beberapa memang mampu secara konsisten menyuntikkan beragam konten dan inovais untuk memastikannya tidak tampil monoton dan membosankan, namun tidak sedikit pula yang sudah mulai kehilangan akal dan hanya mengandalkan nama besar semata untuk menjual produk tersebut ke pasaran. Tren yang semakin mengkhawatirkan? Bahwa tidak sedikit pemilik franchise yang bahkan berani untuk menggeser nama besar franchisenya untuk masuk ke dalam beragam genre, dengan satu tujuan – meraih keuntungan yang lebih besar.
7. Pay to Win
Dengan konsep Free to Play yang kian menguasai jajaran game online saat ini, konsep item mall tentu menjadi fitur yang dapat dimaklumi, karena pada akhirnya developer dan publisher menciptakan game untuk meraih sedikit keuntungan. Tentu saja dengan satu syarat utama, selama item mall yang tersedia ini hanya memberikan keuntungan secara kosmetik dan tidak memberikan efek apapun ke dalam gameplay. Namun sayangnya, tidak sedikit game free to play yang justru menghancurkan keseimbangan suasana kompetitifnya sendiri dengan mendorong konsep Pay to Win. Gamer diperkenankan untuk membeli senjata, equipment, karakter, bahkan beragam perk penguat untuk memastikan performa yang lebih di dalam pertempuran. Hasilnya? Tentu saja mimpi buruk.
6. “HD” Remake
Jika kita membicarakan salah satu tren yang tengah berkembang di industri game saat in, maka strategi HD Remake tentu bukan lagi sesuatu yang asing. Sebagian besar gamer, termasuk kami, menyambut dengan sangat baik konsep ini. Gamer mana yang dapat menolak kesempatan untuk mencicipi lagi game-game terbaik di masa lalu dalam balutan visualisasi yang lebih dapat dicerna sesuai standar teknologi saat ini. Sayangnya, “HD” ini seolah menjadi formula mumpuni untuk meningkatkan daya jual untuk sebuah produk yang sayangnya, tidak sebanding. Tidak sedikit game HD Remake yang tampil berantakan, seolah mempertahanka visualisasi standar namun dipaksa untuk melebar ke definisi tinggi. Hasilnya? Alih-alih mendapatkan detail yang lebih baik, setiap scene justru terlihat kabur.
5. DLC-Unlocked
Terlepas dari kerinduan gamer untuk mencicipi kembali format gaming lawas dimana semua konten tersedia dan ditawarkan sejak awal pembelian, DLC memang menjadi konsep yang tidak bisa ditawar lagi di era modern gaming saat ini. Selain memberikan ekstra ruang bagi game untuk bertahan hidup lebih lama selewat rilis, DLC menjadi sumber uang yang menjanjikan bagi para publisher dan developer. Namun ada satu konsep DLC yang paling menyebalkan bagi gamer, yakni “DLC-Unlocked”. Berbeda dengan DLC yang memang membutuhkan Anda untuk mengunduh lebih banyak konten dari developer, konten di DLC-Unlocked sebenarnya sudah tersedia di dalam game yang tengah Anda beli, namun tidak dapat diakses. Untuk mengaksesnya, Anda harus membayar lagi sejumlah uang. Implementasi terburuk ini diterapkan oleh 4A Games yang bahkan memaksa gamer untuk membayar ekstra uang untuk mendapatkan difficulty yang lebih sulit di Metro Last Light. What the..
4. Movie Adaptation
Sebuah game sulit untuk diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar dan sebuah film layar lebar tidak dengan mudah dapat disulap untuk dapat dimainkan secara interaktif, ini tampaknya menjadi kenyataan pahit yang harus diterima oleh para pelaku di industri game. Walaupun beberapa franchise terhitung berhasil tampil memesona, namun bukti produk gagal yang mengusung konsep ini jauh lebih banyak, bahkan bertebaran di pasaran. Tidak percaya? Lihat saja apa yang dilakukan Activision ketika memaksa diri menjual Fast & Furious: Showdown ke pasaran. Kritik dan amarah yang meluncur dari para gamer yang sudah membayar penuh dengan ekspektasi luar biasa mengingat nama besar yang diusungnya menjadi bukti yang tidak dapat disanggah.
3. Mobile! Mobile! Mobile!
Alih-alih mengobarkan perang antara PC dan konsol, para gamer justru harus lebih takut dengan eksistensi game casual dan mobile yang kian menguat. Spesifikasi smartphone dan tablet yang kian luar biasa membuka potensi yang besar bagi para publisher dan developer untuk menelurkan lebih banyak game-game “serius” untuk platform yang satu ini. Dengan format distribusi yang menguntungkan, tidak sedikit publisher yang akhirnya menjadi “Mobile” sebagai fokus utama pengembangan game-game teranyar mereka. Proses yang lebih sederhana dengan keuntungan yang menjanjikan, para publisher terus mendorong franchise andalan mereka ke platform ini. Kekecewaan yang Anda dapatkan setelah mendengar berita Deus Ex: The Fall yang meluncur untuk iOS dan Android hanyalah permulaan untuk lebih banyak proyek serupa di masa depan.
2. Melupakan Franchise Lawas
“Kami ingin Megaman!”, “Kami ingin Breath of Fire kembali dihidupkan”, “Berikan kami Suikoden Terbaru”, “Kembalikan Final Fantasy ke akarnya”, pekik gamer yang penuh kekecewaan dan sekaligus harapan ini terus bergaung di industri game. Dengan segudang game-game luar biasa yang sempat dirilis di masa lalu, industri game memang seolah kehilangan tajinya untuk mampu menciptakan game “menggigit” yang serupa saat ini. Tidak mengherankan jika sensasi nostalgia ini terus mendorong gamer untuk menyerukan para developer dan publisher untuk menghidupkan kembali franchise-franchise ini, dalam bentuk seri reboot maupun seri baru. Namun hasilnya? Sebagai konsumen yang notabene menjadi ujung rantai dari keseluruhan bisnis ini, suara gamer justru dihiraukan begitu saja. Kita terus mendapatkan game-game yang tidak pernah kita minta. Sebagian besar darinya berakhir buruk dan mengecewakan, dengan sedikit yang mampu menghasilkan pengalaman epik yang serupa.
1. DRM
Mimpi buruk terbesar industri game? Tiga huruf yang menakutkan: DRM. Didesain sebagai sebuah sistem anti bajakan, kebutuhan untuk secara konsisten terkoneksi ke internet untuk dapat memainkan game tertentu memang boleh terhitung sebuah konsep yang absurd, terlepas dari berbagai alasan yang menyertainya. Konsep ini tentu saja diskriminatif untuk gamer yang memang tidak membekali diri dengan koneksi internet yang memadai, dengan kemampuan untuk terkoneksi dimanapun mereka inginkan. Konsep DRM secara otomatis menyuntikkan limitasi yang sebenarnya tidak krusial, mengingat bagaimana konsol dan platform gaming sebelumnya dapat berfungsi sempurna tanpa fungsi yang satu ini. Berbagai kerepotan yang harus dilalui untuk sebuah “tambahan” pengalaman yang terhitung tidak signifikan membuat DRM tampil tak ubahnya sebuah mimpi buruk besar yang menjelma menjadi musuh bersama di industri game. Untuk anti-bajakan? Para peretas sudah membuktikan bahwa mekanisme yang satu ini tidak pernah efektif untuk menghalangi sepak terjang mereka.
Di atas adalah 10 kebijakan di industri game yang seringkali berakhir konflik dengan gamer, sebagai ujung rantai bisnis ini sendiri. Walaupun kritik dan tekanan terus meluncur, hasrat gaming untuk segera mencicipi game-game teranyar yang dirilis seringkali membuat kita mengabaikan semua kebijakan dan ketidakadilan yang disuntikkan oleh publisher dan developer ke dalamnya. Seperti sapi yang tengah digembala: DLC di hari pertama, DRM penuh masalah, Pay to Win, hingga game-game hasil adaptasi film menjadi sesuatu yang bisa dimaklumi, membuat siklus ini bak lingkaran setan yang tidak ada habisnya.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Dari semua kebijakan yang pernah disuntikkan developer dan publisher untuk game-game yang mereka rilis, manakah yang paling membuat Anda kesal? Feel free to comment and expand the list.
SUMBER
#Jangan lupa tinggalkan komentar anda disini
#Gunakan kata-kata yang baik,jelas,dan sopan
#Bila tidak punya account silahkan menggunakan Anonymous